QIRAATUL QUR’AN

indexA. Pengertian

Berdasarkan etimologi (bahasa), qiraah merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qiraah (membaca), jamaknya yaitu qiraat. Bila dirujuk berdasarkan pengertian terminology (istilah), ada beberapa definisi yang diintrodusirkan ulama :

  1. Menurut az-Zarqani.

Az-Zarqani mendefinsikan qiraah dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.[2]

  1. Menurut Ibn al Jazari :

Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.[3]

  1. Menurut al-Qasthalani :

Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.[4]

  1. Menurut az-Zarkasyi :

Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.[5]

  1. Menurut Ibnu al-Jazari

Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakaanya kepada penukilnya , 6

Perbedaan cara pendefenisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga qira’at yang dapat ditangkap dari definisi diatas yaitu :

  1. Qira’at berkaitan dengan car penafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang iman dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
  2. 2. Cara penafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
  3. Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persolan lughat, hadzaf,
  4. I’rab, itsbat, fashl, dan washil.

Baca lebih lanjut

Asbabun Nuzul

Pengertian Asbabun Nuzul dan Faedahnya Dalam Menafsirkan Ayat

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Turunnya al-Qur’an terbagi kepada dua bagian: Pertama diturunkan tanpa sebab atau pertanyaan sebelumnya. Kedua, diturunkan setelah adanya kasus (sebab) atau pertanyaan. Asbaabun-Nuzul adalah ilmu Al-Qur’an yang membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan. Manfaat mengetahui asbab nuzul (Sebab-sebab turunnya) diantaranya : mengetahui segi hikmah yang mendorong penetapan hukum, mengungkap makna dan menghapuskan kemusykilannya. Ibnu Taimiyah mengemukakan bahwa mengetahui asbabun nuzul suatu ayat al-qur’an dapat membantu kita memahami pesan-pesan yang dikandung ayat tersebut plus memberikan dasar yang kokoh dalam menyelami kandungan ayat. Jadi, mengetahui sebab turunnya suatu ayat adalah cara yang terbaik untuk memahami makna al-Qur’an yang komprehensip.
Ambil contoh misalnya, orang yang membolehkan minum khamar berdalil dengan firman Allah:

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan …(Q.S. Al-Ma’idah: 93).
Seandainya mereka  mengetahui sebab turunnya ayat ini, niscaya tidak akan berpendapat demikian (membolehkan minum khamar). Sebab turunnya ayat ini ialah bahwa ketika khamar diharamkan, mereka bertanya bagaimana dengan orang-orang yang meninggal sebelum ayat ini turun ? Maka diturunkanlah ayat tersebut.
Contoh lain ialah firman Allah:
 فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِ‌ۚ
maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah…. (Q.S. al-Baqarah: 115).
Kalau mengikuti penunjukan lafadnya maka orang yang shalat tidak wajib menghadap kiblat baik dalam safar maupun tidak. Tetapi setelah mengetahui sebab turunnya ayat ini, nyatalah bahwa ia dimaksudkan bagi orang yang shalat sunat dalam safar atau bagi orang yang shalat dengan tidak mengetahui arah kiblat.

Kaidahnya Berlaku Umum

Para ulama ushul fiqih berselisih pendapat: apakah yang teranggap itu keumuman lafadznya atau kekhususan sebabnya? Pendapat yang lebih kuat dan benar ialah pendapat yang pertama. Karena telah turun beberapa ayat berkenaan dengan beberapa sebab tertentu tetapi hukumnya berlaku bagi selain sebab-sebab tersebut. Seperti turunnya ayat zhihar pada kasus Salmah bin Shakhr, ayat li’an pada kasus Hilal bin Umayah dan ayat haddul qadzaf berkenaan dengan para penuduh Aisyah. Semua hukum tersebut berlaku juga untuk selain mereka di setiap zaman dan tempat. Jadi, sebabnya mungkin bersifat khusus tetapi ancamannya bersifat umum, meliputi setiap orang yang melakukan kejahatan serupa. Ibnu Abbas pernah ditanya tentang ayat: ” Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” apakah ayat ini umum atau khusus? ia menjawab: Umum.

Bersumber Dari Sahabat Yang Menyaksikan

Tidak boleh mengatakan tentang asbab-nuzul kecuali dengan riwayat dan mendengar dari orang yang menyaksikan penurunan dan mengetahui sebab-sebabnya. Para sahabat dapat mengetahui asbab-nuzul melalui konteks atau indikasi yang berkaitan dengan persoalan. Apabila sebagian sahabat tidak dapat memastikannya maka biasanya ia akan mengatakan: “Aku mengira ayat ini turun menyangkut masalah ini atau itu.” Dan apabila seorang sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu mengabarkan tentang suatu ayaat al-Qur’an bahwa ia turun mengenai sesuatu misalnya, maka ia merupakan hadits musnad.
Adanya beberapa riwayat yang menyebutkan peristiwa-peristiwa masa lalu seperti penyebutan kisah kaum Nabi Nuh, ‘Ad, Tsamud, Pembangunan Ka’bah dan sebagainya, tidak dapat dimasukkan ke dalam asbab-nuzul.

Jika Ada Periwayatan Lebih Dari Satu

1. Apabila para mufasir menyebutkan beberapa sebab nuzul bagi satu ayat, maka untuk memastikannya harus diperhatikan ungkapan periwayatannya. Jika disebutkan dengan ungkapan: “Ayat ini turun mengenai masalah ini” sementara riwayat lain mennyebutkan dengan ungkapan: “Ayat ini turun mengenai masalah ini dengan menyebutkan pula masalah lain”, maka yang terakhir ini dimaksudkan sebagai penafsiran, bukan menyebutkan asbab nuzul. Tetapi jika disebutkan dengan ungkapan: “Ayat ini turun mengenai masalah ini”, sementara itu riwayat lain menyebutkan sebab nuzul yang lain secara tegas, maka yang dianggap adalah yang kedua, karena yang pertama hanya merupakan istibath. Misalnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata:”Ayat (artinya): Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,” dimaksudkan untuk orang yang mendatangi isterinya di duburnya, sementara itu riwayat dari Jabir menyebutkan sebab yang lain secara tegas. Maka yang mu’tamad dalam hal ini adalah hadits Jabir, karena ia bersifat naql, sedangkan perkataan Ibnu Umar tersebut merupakan istinbath darinya.
2. Jika ada dua riwayat yang menyebutkan sebab nuzul yang berlainan maka yang mu’tamad ialah riwayat yang sanadnya lebih shahih dan kuat ketimbang yang lain. Jika kedua sanadnya sederajat maka dikuatkan riwayat yang perawinya menyaksikan kasus dan kisah. Jika tidak mungkin dilakukan tarjih (dipilih yang lebih kuat) maka dikategorikan d dalam ayat yang memiliki beberapa sebab nuzul dengan terulangnya kasus dan peristiwa.

Nuzul Mendahului Hukum Dan Sebaliknya

1. Ada beberapa nuzul ayat yang mendahui hukumnya, seperti firman-Nya dalam surat al-A’la:
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri [dengan beriman], (14) dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. (15)
Ayat ini Makiyah dan berkenaan dengan zakat fitrah, padahal puasa diwajibkan di Madinah.
Firman Allah dalam Surat al-Balad:
Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini [Mekah], (1) dan kamu [Muhammad] bertempat di kota Mekah ini, (2)
Surat ini Makiyyah, sedangkan “Pendudukan” tersebut baru terjadi pada Fathu Makkah di tahun ke delapan hijrah sehingga Rasulullah saw. bersabda: “Dihalalkan bagiku sesaat di siang hari”.
Firman Allah: Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. (Q.S. al-Balad: 45).
Umar bin Khattab berkata: “Kemudian aku bertanya: golongan yang manakah yang dimaksudkan? Maka ketika terjadi perang Badr dan kaum Musyrikin kalah, aku melihat Rasulullah saw. berada di tempat bekas peperangan itu seraya menghunus pedang dan mengucapkan (artinya): “Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka kan mundur ke belakang”. Jadi, ayat ini berkenaan dengan perang Badr.
2. Contoh tentang hukum yang mendahului nuzul, misalnya ayat wudhu. Dari ‘Aisyah r.a., ia bekata: “Kalungku pernah jatuh di padang pasir padahal kami sedang memasuki kota Madinah, maka Rasulullah saw. berhenti dan turun beristirahat, kemudian beliau meletakkan kepalanya di pangkuanku seraya tidur, lalu datanglah Abu Bakar r.a. dan menamparku dengan satu kali tamparan kuat seraya berkata: kamu telah menghentikan orang-orang karena sebuah kalung”. Kemudian Rasulullah saw. terjaga ketika ketika waktu shubuh telah tiba, lalu beliau mencari air wudhu tetapi tidak mendapatkannya, maka turunlah ayat (artinya):”Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat…” sampai kepada firman-Nya:”… Supaya kamu bersyukur”.
Ayat ini sesuai kesepakatan para ulama, Madaniyah, sedangkan kewajiban wudhu telah ditetapkan di makkah bersamaan dengan kewajiban shalat.

Yang Diturunkan Terpisah dan Sekaligus

Sebagian besar surat-surat al-Qur’an diturunkan secara terpisah, diantaranya suraat al-‘Alaq (Iqra’); surat ini diturunkan perkama kali sampai kepada ayat kelima (maa lam ya’lam). Diantara surat yang diturunkan sekalgus ialah al-Fatihah dan al-Ikhlash, bahkan surat an-Nas dan al-Falaq turun bersamaan. Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda:’Surat al-An’am diturunkan kepadaku sekaligus diiringi 70 ribu Malaikat.'”.

Yang Diulang Penurunannya

Kadang-kadang sebuah ayat diulang-ulang penurunannya utnuk peringatan dan nasihat. Diantarnaya ialah akhir surat an-Nahl dan awal surat ar-Rum. Satu nash Qur’an kadang-kadang turun dua kali untuk mengagungkan urusannya dan mengingatkan ketika terjadi sebabnya atau kekhawatiran melupakanya, seperti ayat ruh, juga al-Ikhlas, ia diturunkan di Makah  sebagai jawaban bagi Kaum Musyrikin (Quraisy) dan diturunkan lagi di Madinah sebagai jawaban bagi kaum Yahudi.
Hikmah diulangnya penurunan ini ialah karena timbulnya pertanyaan aatau kasus yang menurut penurunan lagi ayat tersebut, kemudian ayat itu diturunkan kembali kepada Rasulullah saw. sebagai peringatan bagi mereka. Seperti firman Allah (artinya): Tidaklah sepatutunya bagi Nabi dan orang-orang beriman….(Q.S.at-Taubah:113).
Diulangnya penurunan ini berkemungkinan juga karena ia termasuk huruf-huruf (segi  qira’at yang ada-red) yang harus dibaca atas dua bacaan atau lebih. Diriwayatkan dari Nabi saw.:

“Sesungguhnya Rabbku mengutus kepadaku agar aku membaca al-Qur’an atas satu huruf, kemudian aku minta kembali agar ia meringankan pada umatku, maka ia mengutus kepadaku agar aku membacanya atas dua huruf, lalu aku minta kembali agar ia meringankan kepada umatku maka ia mengutus kepadaku agar aku mamebacanya atas tujuh huruf.” (H.R.Muslim dari Ubay bin Ka’ab). Hadits ini menunjukkan bahwa al-Qur’an tidak diturunkan sekali saja tetapi ada yang diturunkan beberapa kali. Diantaranya ialah, sebagaimana disebutkan di dalam riwayat terdahulu, surat al-Fatihah: ia diturunkan dua kali (di Makah dan Madinah).Ini berkemungkinan juga karena pada penurunan yang kedua ia diturunkan dengan segi-segi qira’at yang lainnya, seperti ملك  dan مالك , الصراطdan السرات.

Contoh

Asbaabun Nuzul Surah An-Nas dan Al-Falaq

Dalam suatu riwayat dikemukakan Bahwa Rasulullah saw. pernah mengalami sakit parah, maka datanglah kepada beliau dua Malaikat, yang satu duduk di sebelah kepala beliau dan yang satu lagi di sebelah kaki beliau. Berkatalah Malaikat yang yang duduk di sebelah kaki beliau kepada Malaikat yang duduk di sebelah kepala beliau: “Apa yang engkau lihat?” Ia menjawab: “Beliau terkena guna-guna” Dia bertanya lagi: “Apa guna-guna itu?” Ia menjawab: “Guna-guna itu sihir!” Dia bertanya lagi: “Siapa yang membuat sihir?” Ia menjawab: “Labid bin al-A’sham al-Yahudi, yang sihirnya berupa gulungan yang disimpan di dalam sumur keluarga si anu di bawah sebuah batu besar. Datanglah ke sumur itu, timbalah airnya dan angkat batunya, kemudian ambillah gulungannya dan bakarlah. Pada pagi harinya Rasulullah saw. mengutus ‘Amar bin Yasir dan kawan-kawannya. Setibanya di sumur itu, tampaklah airnya merah seperti air pacar. Air itu ditimbanya, dan diangkat batunya, serta dikeluarkan gulungannya kemudian dibakar. Ternyata di dalam gulungan itu ada tali yang terdiri atas sebelas simpul. Kedua surah ini.(Q.S. 113 dan 114) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Setiap kali Rasulullah saw. mengucapkan satu ayat, terbukalah simpulnya. [Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam kitab Dalaa-ilun Nubuwwah, dari al-Kalbi, dari Abu Shalih, yang bersumber dari Ibnu Abbas].
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum Yahudi membuatkan makanan untuk Rasulullah saw., Setelah memakan makanan itu, tiba-tiba Rasulullah sakit keras, sehingga shahabat-shahabatnya mengira bahwa penyakit itu timbul akibat perbuatan Yahudi itu. Maka turunlah Jibril membawa dua surah ini (Q.S. Al-Falaq dan An-Nas) serta membacakan ta’awwudz. Seketika itu juga Rasulullah keluar menemui shahabat-shahabatny dalam keadaan sehat wal-afiat.[Diriwayatkan oleh Abu Nuaim di dalam Kitab ad-Dalaa-il, dari Abu Ja’far ar-Razi, dari ar-Rabi bin ‘Anas, yang bersumber dari Anas bin Malik].

SUMBER;http://www.jadipintar.com/2015/02/pengertian-asbabun-nuzul-dan-faedahnya-dalam-menafsirkan-ayat.html

Baca lebih lanjut

HADITS MAUDHU’

 index1.Pengertian Hadits Maudhu’

          الَحَدِ يْثُ المَوْضُوْعُ هُوَا المُخْتَلَقُ المَصْنُوْعُ                                           ”Hadist Maudhu’ adalah Hadist yang diada-adakan dan dibuat-buat.”[1]

Al-Maudhu’ secara bahasa merupakan isim maf’ul dari,         wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an,kata yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan tau memyimpan), Kata Al-Maudhu’ juga bermakna (al-iftira) meninggalkan, (wa al-ikhtilaq)mengada-ada dan membuat-buat.[2]

Sementara secara istilah ulama ahli hadits mendefinisikan hadits maudhu’ sebagai :

مآَ نُسِبَ اِلَى ر َسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ اِخْتِلاقًا وَكَذْ بًا مِمّا لَمْ يَقُلْهُ اَوْ يَفْعَلْهُ اَوْ يُقِرُهُ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ

المُخْتَلَقُ المَصْنُوْعُ:

Artinya: “Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah saw secara dibuat-buat dan dusta, padahal Beliau tidak mengatakan dan melakukannya, berbuat ataupun melakukannya.”[3]

Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits maudhu’ ialah hadits yang dibuat-buat”.

Dan ada juga yang mendefinisikan sebagai :

هُوَالُمخْتَلَعُ اَلمصْنُوْعُ الَمنْسُوْبُ اِلَى رَسُوْلِ الٌلَهِ صَلَىٌ الَلٌه عَلَيْهِ وَسَلَمَ زَوْرَاَ وَبُهْتَاناَ سَوَاءُ كَانَ ذَلِكَ عَمْدَا أَوْ خَطَأَ

Artinya:”Hadits yang diciptakan dan dibuat seseorang (pendusta) yang ciptaan ini yang dinisbatkan pada Rasulullah saw secara paksaan dan dusta, baik sengaja maupun tidak”.[4]

Dari beberapa definisi diatas dapat kita pahami bahwa, hadits maudhu’ adalah hadist yang bukan disandarkan kepada Rasulullah Saw, atau dengan kata lain Bukan hadist Rasul, akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan kemudian dikatakan kepada Rasul. Padahal untuk kepentingan individu atau kelompok, bukan didasarkan kepada perkataan atau perbuatan dan takrir Rasulullah saw.

Hadist Maudhu adalah hadist yang paling jelek(buruk) dan paling membahayakan bagi Islam dan pemeluknya, dan tidak halal bagi yang meriwayatkan hadist maudhu’. Rasulullah Saw bersabda :

مَنْ حَدَّ ثَ عَنِّىِ بِحَدِ يْثِ يَرَى اَنَّهُ كَذِ بُ فَهُوَ اَحَدُ الكَا ذِ بِيْنَ.

Artinya: “Barang siapa meriwayatkan suatu hadist dariku yang ia ketahui bahwa Hadist itu dusta, maka ai adalah sakah seorang pendusta” Baca lebih lanjut

Hadits Shahih

images1.Pengertian Hadits Shahih

Berikut adalah pendapat beberapa buku dan ulama tentang hadist shahih

  •                    Para ulama telah memberikan definisi hadits shahih yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadist.Pengertian hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rowi yang adil dan yang dhabit dari rawi yang lain juga adil dan dhobit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).
  • Hadits shahih merupakan sebuah hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rowi yang adil dan yang dhabit dari rawi yang lain (juga) adil dan dhobit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (‘Illat). Sahih  menurut lughat adalah lawan  dari “saqim”[1], artinya sehat lawan sakit, haq lawan batil.
  • Menurut ahli hadits , hadits shahih adalah  hadits yang sanandnya bersambung , dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah Saw, sahabat atau tabiin, bukan hadits yang syadz (kontriversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya
  • Sahih menurut bahasa “sehat “, kebalikan dari  “sakit”. Sedang menurut istilah ialah hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tidak syadz dan tidak pula terdapat billat ( cacat ) yang merusak.
  • Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.
  • Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.

Dari pengertian diatas bahwa kriteria hadits shahih ada lima syarat yang harus di penuhi sebagai berikut :

  1. muttasil sanadnya (ittisal as-sanad) artinya setiap hadits yang yang diriwayatkan oleh rowi tali – temali, sehingga sambung dalam penerimaan haditsnya dari Nabi Muhammad SAW dan yang bersangkutan benar – benar menerimanya dari rawi yang berada di atasnya sampai kepada pembicara yang pertama. Oleh karena itu apabila ada hadis yang sanadnya ada yang munqoti’[2], Mu’dhol [3], Mu’allaq [4] dan mursal[5] maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih walaupun dulunya termasuk hadist shahih .
  2. Diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil, artinya adil dalam periwayatannya dan sifat yang ada pada seseorang yang senantiasa mendorong untuk bertakwa dan menjaga kredibilitasnya. Ini terkait dengan dimensi moral spiritual.
  3. Dhabit adalah kuat ingatan, dhobit ini ada dua macam, yakni dhobithush shadri

(hati) dan  dhobithul kitab (tulisan),maksutnya kedua macam pembagian itu rawi hadist yang bersangkutan dapat menguasai hadistnya dengan baik,baik dengan hafalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya,kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.

  1. Hadits yang diriwayatkan bukan termasuk kategori hadits yang syadz.Kerancuan (syudzudz) adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi lainnya yang lebih kuat posisinya.Sebenarnya kerancuan suatu hadist itu akan hilang dengan terpenuhinya tiga syarat sebelumnya karena para muhadditsin menanggap bahwa ka-dhabit-an  telah mencangkup potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan sejumlah hadist yang di kuasainya.
  2. Hadits yang diriwayatkan harus terbebas dari illat (cacat) yang dapat menyebabkan kualitas hadits menjadi turun.

Hadist Shahih di bagi menjadi dua yaitu

  1. Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi  semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.[6] Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ    ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك  

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.

  1. Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain[7].Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة.  ٍ

Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).

  1. Syarat-syarat Hadits Shahih menurut imam Al-Bukhari dan imam Al-Muslim.

Baca lebih lanjut

Pengertian Hadits Hasan

index2. 1 Pengertian  Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa artinya baik dan bagus, Sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan secara istilah, hadits hasan  didefinisikan secara beragam oleh ahli Hadits, sebagai berikut :
1. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani
وَخبرالأحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شا  ذ
Khobar  ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna  hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.
2. Menurut Imam at-Tirmidzi
كل حديث يروى لا يكو ن فى إسنا ده من يّتّهم با لكذب ولا يكو ن
الحديث شا دّا و يروى من غير وجه نحو ذا لك
Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada matannya tidak  terdapat keganjalan, dan hadits itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya.
Definisi hadits hasan menurut at-Tirmidzi ini terlihat kurang jelas, sebab bisa jadi hadits yang perawinya tidak tertuduh dusta dan juga hadits gharib, sekalipun pada hakikatnya berstatus hasan.  Tidak dapat dirumuskan dalam definisi ini sebab dalam definisi tersebut disyariatkan tidak hanya melalui satu jalan periwayatan (mempunyai banyak jalan periwayatan). Meskipun demikian, melalui definisi ini at-Tirmidzi tidak bermaksud  menyamakan hadits hasan dengan hadits shahih, sebab justru at-Tirmidzilah yang mula-mula memunculkan istilah hadits hasan ini.

3.    Menurut At-Thibi
مسند من قرب من درجة الثقة أو مرسل ثقة وروي كلا
هما من غير وجه وسلم من شدو ذٍ ا ولا علة                                      .
Hadits musnad ( muttasil dan marfu’ ) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah. Atau hadits mursal yang sanad-sanadnya tsiqah, tetapi pada keduanya ada perawi lain, dan hadits itu terhindar dari syadz ( kejanggalan ) dan illat (kekacauan).
Dengan kata lain hadits hasan adalah :
هو ما ا تصل سنده بنقل العدل الذى قلَّ ضبطه و خلا من الشّذوذ والعلة
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada illat.
Atas dasar pengertian hadits hasan tersebut, maka syarat-syarat hadits hasan itu ada lima macam, yaitu:
1.    Muttasil sanadnya
2.    Rawinya adil
3.    Rawinya dhabith
Kedhabitan rawi disini tingkatannya dibawah kedhabitan rawi hadits shahih, yakni kurang sempurna kedhabitannya.
4.    Tidak temasuk hadits syadz
5.    Tidak terdapat illat (cacat)
2.2  Sebab – Sebab Timbulnya Hadits Hasan
Sebelumnya butuh kami ingatkan bahwa istilah hadits ‘hasan’ di kalangan ulama mutaqaddimin (terdahulu)  tidaklah dikenal. Di kalangan mereka, hadits hanya terbagi menjadi dua: Shahih dan dha’if. Ini dibuktikan dengan karya tulis para ulama terdahulu, dimana mereka menamakan kitabnya dengan nama Ash-Shahih, akan tetapi di dalamnya mereka menyebutkan hadits yang hasan. Misalnya Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, walaupun keduanya disifati dengan nama ‘shahih’, akan tetapi kenyataannya di dalam keduanya terdapat tidak sedikit hadits-hadits yang hasan.
Belakangan, para ulama ahli hadits mulai menyendirikan jenis hadits hasan ini dan membedakannya dari hadits shahih. Akan tetapi mereka kemudian berbeda pendapat dalam memberikan batasan dan definisinya, bahkan hingga mencapai 16 pendapat. Adanya banyak pendapat dalam definisinya ini adalah hal yang wajar, mengingat hadits hasan ini berada di antara shahih dan dha’if dan istilah ‘hasan’ ini belum dikenal di kalangan ulama mutaqaddimin . Akan tetapi walaupun demikian, tetap sebagian ulama belakangan merajihkan dan memilih satu pendapat terkuat mengenai definisi hadits hasan, dan itu yang insya Allah akan kami sebutkan di bawah.
Ketika berbicara mengenai sejarah pengklasifikasian kualitas hadits  mayoritas para ahli hadits muta’akhirin didalam kitab-kitab ilmu hadits karangan mereka berpendapat bahwa sebelum masa Imam Abu Musa At-Tirmidzi, istilah hadits hasan sebagai salah satu bagian dari pengklasifikasian kualitas hadits belum dikenal dikalangan para ulama hadits. Baca lebih lanjut

HADIST DHOIF

indexHADITS DHAIF DALAM PANDANGAN ULAMA AHLI HADITS

Menurut bahasa, arti dhaif adalah lemah. Sedangkan menurut istilah para ulama ahli hadits, bahwa hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi standar kriteria untuk diterima secara bulat, karena ada syarat-syarat yang tidak terpenuhi secara komplit.

Contohnya hadits yang mengatakan : Bahwa konon Nabi SAW berwudlu dan mengusap KAOS KAKI-nya, (bukan mengusap sepatu khufnya, sebagai ganti mengusap kaki). Haidts ini dihukumi dhaif, karena diriwayatkan dari Abu Qais Al-audi yang kredibilitas figurnya dipermasalahkan oleh para ulama ahli hadits.

Pembagian hadits dhaif itu bermacam-macam, ada ulama ahli hadits yang mengatakan, bahwa hadits dhaif terbagi menjadi 42 bagian, atau 49 bagian, bahkan ada yang mengatakan sampai 81 bagian. Tapi ada juga yang berpendapat praktis, seperti Syeikh Ibnu Hajar yang mengatakan : Banyaknya pembagian hadits dhaif itu tidaklah terlalu penting, karena tidak semua pembagiannya secara detail diberikan nama-nama konkritnya.

Tentunya banyak alasan yang dapat diterima oleh umat dari para ulama ahli hadits itu sekalipun terjadi silang pendapat seperti itu, karena sifat hadits dhaif ini bertingkat-tingkat. Ada yang penyebab kedhaifannya itu dinilai ringan, misalnya salah satu perawi hadits itu salah dalam menyebut nama marga gurunya, atau terjadi keterbalikan nama semata, bukan terrkait dalam masalah matan (isi) haditsnya.

Termasuk karena alasan itu pula , maka para ulama ahli hadits menciptakan ilmu pengetahuan khusus yang berkaitan dengan pembagian hadits-hadits Nabi SAW tersebut, dan diberi nama Ilmu Musthalah Hadits.

Menurut para ulama Ahlus sunnah wal jamaah, hukum hadits dhaif itu tidak boleh dipergunakan untuk landasan dalil beraqidah/bertauhid dan dalil menetapkan hukum halal-haram, tapi masih boleh dipergunakan untuk mengamalkan amalan-amal yang bersifat afdhaliyah/keutamaan (fadhailul a’mal) sunnah, asalkan hadits yang dipergunakan itu bukan termasuk matrukul hadits (hadits yang wajib ditinggalkan). Baca lebih lanjut

Tauhid Asma Wa Sifat

indexA.  Pengertian Tauhid Asma Wa Sifat

Pengertian Asma dan Sifat Allah

Secara bahasa Kata “اسماء” adalah bentuk jama dari kata “اسم”, yang artinya ‘nama’. “اسماء الله” berarti ‘nama-nama Allah’. اسماء الحسنى berarti nama-nama yang baik dan terpuji. Sehingga istilah “asma’ul husna” bagi Allah maksudnya adalah nama-nama yang indah, baik dan terpuji yang menjadi milik Allah. Misalnya: Ar Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Ghafur, dan lain-lain.

Sedangkan kata “صفة” dalam bahasa Arab berbeda dengan “sifat” dalam bahasa indonesia. Kata “صفة” dalam bahasa arab mencakup segala informasi yang melekat pada suatu yang wujud. Sehingga “sifat bagi benda” dalam bahasa arab mencakup sifat benda itu sendiri, seperti besar  kecilnya, tinggi rendahnya, warnanya, keelokannya, dan lain-lain. Juga mencakup apa yang dilakukannya, apa saja yang dimilikinya, keadaan, gerakan, dan informasi lainnya yang ada pada benda tersebut.[1]

Dengan demikian, kata “صفة الله” mencakup perbuatan, kekuasaan, dan apa saja melekat pada Dzat Allah, dan segala informasi tentang Allah. Karena itu, sering kita dengar ungkapan ulama, bahwa diantara sifat Allah adalah Allah memiliki tangan yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, Allah memiliki kaki yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, Allah turun ke langit dunia, Allah bersemayam di Arsy, Allah tertawa, Allah murka, Allah berbicara, dan lain-lain. Dan sekali lagi, sifat Allah tidak hanya berhubungan dengan kemurahan-Nya, keindahan-Nya, keagungan-Nya, dan lain-lain.

Pengertian Tauhid Asma wa Sifat

Secara istilah syariat, tauhid asma dan sifat adalah pengakuan seorang hamba tentang nama dan sifat Allah, yang telah Dia tetapkan bagiNya dalam kitab-Nya ataupun dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengimani maknanya dan hukum-hukumnya tanpa Tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil/tasybih.[2]

 

1. Tahrif (menyimpangkan makna)

yaitu mengubah atau mengganti makna yang ada pada nama dan sifat Allah, tanpa dalil.
Misalnya: Sifat Allah marah, diganti maknanya menjadi keinginan untuk menghukum, sifat  Allah istiwa (bersemayam), diselewengkan menjadi istaula (menguasai), Tangan Allah, disimpangkan maknanya menjadi kekuasaan dan nikmat Allah.

2. Ta’thil (menolak)

Yaitu menolak penetapan nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam dalil. Baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian.

Contoh menolak secara keseluruhan adalah sikap sekte Jahmiyah, yang tidak mau menetapkan nama maupun sifat untuk Allah. Mereka menganggap bahwa siapa yang  menetapkan nama dan sifat untuk Allah berarti dia musyrik.

Contok menolak sebagian adalah sikap yang dilakukan sekte Asy’ariyah atau Asya’irah, yang membatasi sifat Allah hanya bebeberapa sifat saja dan menolak sifat lainnya. Atau menetapkan sebagian nama Allah dan menolak nama lainnya.

3. Takyif (membahas bagaimana bentuk dan hakikat nama dan sifat Allah)
yaitu menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan nama yang dimiliki oleh Allah. Misalnya, Tangan Allah, digambarkan bentuknya bulat, panjangnya sekian, ada ruasnnya, dan lain-lain. Kita hanya wajib mengimani, namun dilarang untuk menggambarkannya.

4. Tamtsil/Tasybih (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya)
Misalnya, berkeyakinan bahwa tangan Allah sama dengan tangan budi, Allah bersemayam di ‘arsy seperti joki naik kuda. Mahasuci Allah dari adanya makhluk yang serupadengan-Nya.
Allah berfirman,

}§øŠs9¾ÏmÎ=÷WÏJx.Öäï†x«(uqèdurßìŠÏJ¡¡9$#玍ÅÁt7ø9$#ÇÊÊÈ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Qs. Asy-Syuura: 11)

B. Pembagian Asma wa Shifat Allah Jalla wa ‘Alaa

Sifat-sifat Allah terbagi dua bagian :

1. Tsubutiyah

Sifat Tsubutiya adalah sifat yang Allah tetapkan sendiri untukNya baik yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau yang ditetapkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam, yang semuanya adalah sifat yang sempurna dari seluruh aspeknya. Seperti sifat Al-Hayat (Maha Hidup), Al-Ilmu (Mengetahui) Al-Qudrah (Berkuasa) Istiwa di atas arsy, turun ke langit dunia, wajah, dua tangan, sifat-sifat ini wajib ditetapkan untuk Allah dengan dalil Naqly maupun Aqly.

Adapun dalil naqly adalah firman Allah Q.S. An-Nisa : 136

136. Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.

 

Perintah beriman kepada Allah dalam ayat ini meliputi semua rukun iman kepada Allah yaitu iman kepada WujudNya, RububiyahNya, UluhiyahNya serta beriman kepada Asma dan Sifat-sifatNya. Dan perintah beriman kepada kitab Allah pada ayat ini mengandung perintah untuk beriman kepada segala berita yang datang dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang shahih termasuk penetapan beliau terhadap asma dan sifat-sifat Allah.

Adapun dalil Aqlynya adalah bahwa Allah Ta’alaa telah mengabarkan kepada kita tentang DzatNya, namaNya dan sifat-sifatNya, dan jelas Allah lebih tahu tentang diriNya dari pada selainNya. Dialah Allah Ta’alaa yang ucapanNya paling benar dan paling baik, maka nama-nama dan sifat-sifatNya yang telah ditetapkanNya harus kita terima tanpa keraguan sedikitpun.

Demikian juga kita wajib menerima tanpa ragu dengan berita yang dibawa oleh Nabi Shallallahu alahi wasallam tentang nama dan sifat Allah ta’alaa jika berita itu shahih dari beliau Shallallahu alahi wasallam, karena beliau adalah manusia yang paling tahu dan paling kenal kepada Allah Jalla Jalaaluh.

Sifat tsubutiyah merupakan sifat terpuji dan sempurna bagi Allah, maka semakin banyak sifat itu maka ia menunjukan akan Maha Sempurnanya yang disifati yaitu Allah ta’alaa. Karenanya sifat tusbutiyah ini lebih banyak Allah dan RasulNya sebutkan dibanding dengan sifat salbiyah.[3]

Sifat Tsubutiyah terbagi kepada dua bagian

a. Sifat Dzatiyah

Sifat dzatiyah adalah sifat yang melekat pada dzat Allah yang senantiasa seperti itu dan tidak akan berubah. Seperti sifat Al-Ilmu, Al-Qudrah, As-Sam’u, Al-Bashar, Al-Izzah, Al-Hikmah, Al-‘Uluw, Al-Azhomah, dan termasuk sifat dzatiyah adalah sifat Khobariyah seperti dua tangan, wajah dua mata dll.

b. Sifat Fi’liyah

Sifat fi’liyah adalah sifat yang berhubungan dengn kehendak Allah, jika Ia berkehendak maka Ia kerjakan jika tidak maka tidak ia kerjakan. sepertiTurun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, istiwa di atas Arsy, berkata-kata dll.

Terkadang sifat dzatiyah juga sifat fi’liyah seperti sifat Al-Kalam, disatu sisi Allah bersifat kalam tapi disi lain Allah berkata jika Ia berkehendak saja. Baca lebih lanjut

Tauhid Uluhiyah

indexA. pengertian

Makna Uluhiyah

Uluhiyah berasal dari kata al-ilah yang berarti Tuhan yang disembah. Uluhiyah adalah nisbat kepada al-ilah karena ia merupakan sifat Allah yang ditetapkan oleh nama,”Allah”. Jadi yang dimaksud dengan Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam ketuhananNya dengan memberikan hakNya berupa berbagai macam ibadah hanya kepadaNya semata. Tauhid ini juga dikenal dengan Tauhid Ibadah, karena ia berarti memberikan ibadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selainNya.

Kedudukan Tauhid Uluhiyah

Tauhid Uluhiyah merupakan inti dakwah para rasul, dimulai dari Nuh sebagai rasul pertama sampai Muhammad sebagai rasul penutup.

Firman Allah, “Dan sungguhnya Kami relah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),”Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.”(An-Nahl: 36).

Firman Allah, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya,”Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’: 25).

Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syuaib dan lain-lainnya kompak berseru, “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan yang haq bagimu selainNya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85). Baca lebih lanjut

Pengertian Tauhid Rububiyah

index1. Pengertian Tauhid Rububiyah

Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Allah Pencipta sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu ” (Az-Zumar: 62)

Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, bina­tang dan makhluk lainnya. Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur seme­sta, Dia yang mengangkat dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala sesuatu. Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang mematikan.

ALLAH YANG MAHA PENCIPTA, MAHA KUASA DAN MAHA PENGATUR

Allah yang merencanakan penciptaan, kekuasaan, pengaturan suatu kejadian / penciptaan sebut saja proses seekor nyamuk dari sebelum ada, akan menjadi ada, setelah ada Allah mengatur kehidupan, habitat nyamuk apa yang akan dimakannya, kemana ia akan terbang berapa jumlah jatah makanan detik ini, dengan nyamuk mana ia akan kawin, Allah yang memberi tahukan atau memberi petunjuk ke mana ia akan mencari makanan, bagaimana bentuk, rupa warna, bau makanannya dan berapa jumlah makanan yang akan di dapatnya Allah yang memaklumkan yang memberitahukan, mengajar, mendidik nyamuk tersebut, dan menentukan berapa telur yang akan dihasilkannya, mengatur keturunannya seterusnya-seterusnya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)” (Hud: 6)

Allah Maha Pencipta segala sesuatu, Mencipta segala sesuatu menjadi nyata, segala sesuatu menjadi berbeda, segala sesuatu menjadi berupa-rupa, segala sesuatu menjadi nyata warna-warninya, terang, gelap, kabur, samar-samar dan sampai tak terlihat sama sekali, karena Allah menciptakan sesuatu menjadi nyata, maka Allah itu secara hakikat sebenarnya/sesungguhnya lebih nyata dari segala sesuatu.

Bukankah kebanyakan dari manuasia itu tidak mengenal Allah dengan sebenarnya ‘ Awaluddin Ma’rifatullah /awal agama mengenal Allah” mengenal Allah tidak hanya kenal nama dan tidak kenal dengan Yang Empunya Nama, kalau tidak mengenal Allah dengan sebenarnya kemungkinan akan bertingkah laku, beranggapan, berapresiasi terhadap sesuatu termasuk kepada Syirik (Menyekutukan Allah) inilah dosa yang tidak akan diampunkan. ” Dosa walau sepenuh langit dan bumi akan diampunkan Oleh Allah Yang Maha Pengampun kecuali dosa syirik (menyekutukanNya).

  1. Makna Tauhid Rububiyah Allah

Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah. Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini.

Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)

Jadi, tauhid rububiyah adalah bukti wajibnya tauhid uluhiyah. Allah memerintahkan mereka bertauhid uluhiyah, yaitu menyembahNya dan beribadah kepadaNya. Dia menunjukkan dalil kepada mereka dengan tauhid rububiyah, yaitu penciptaanNya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit dan bumi serta seisinya, penurunan hujan, penumbuhan tumbuh-tumbuhan, pengeluaran buah-buahan yang menjadi rizki bagi para hamba.

Maka sangat tidak pantas bagi mereka jika menyekutukan Allah den­gan yang lainNya; dari benda-benda atau pun orang-orang yang mereka sendiri mengetahui bahwa ia tidak bisa berbuat sesuatu pun dari hal-hal tersebut di atas dan lainnya. Maka jalan fitri untuk menetapkan tauhid uluhiyah adalah berdasarkan tauhid rububiyah.

C.    Konsekuensi Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah yaitu mengesakan Allah Ta’ala dalam penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan dan Maha kuasa atas segala sesuatu. Hal ini wajib diimani oleh setiap muslim.

Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.

Allah ta’ala berfirman:

“Mahasuci Allah Yang di Tangan-Nya segala kekuasaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Mulk : 1).

Semua orang, bahkan orang yang non muslim jika ditanya mengenai siapa Tuhannya tentu akan menjawab, “Allah.” , sebagaimana firman-Nya :

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab,“Allah” maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)” (Q.S. Al-Ankabut: 61)

Akan tetapi pernyataan dan persaksian mereka tidak membuat mereka masuk Islam dan tidak membebaskan mereka dari api neraka serta tidak melindungi harta dan darah mereka dari misi jihad islam, karena mereka tidak mewujudkan tauhid Uluhiyah, bahkan sebaliknya mereka berbuat syirik kepada Allah dalam beribadah kepada-Nya dengan memalingkan ibadah mereka kepada selain Allah.

Tetapi pengimanan bahwasanya yang menciptakan sesuatu, mengatur dan Maha Kuasa Atas segala sesuatu mempunyai konsekuensi atau mengharuskan adanya pembuktian dengan pemurnian peribadatan atau segala bentuk penyembahan hanya kepada Allah Ta’ala saja. jenis tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat mana pun yang menyangkalnya. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakuiNya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lain-Nya. Sebagaimana perkataan para rasul yang difirmankan Allah: Berkata rasul-rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan ter­hadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (Ibrahim: 10)

Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun demikian di hatinya masih tetap meyakiniNya. Sebagaimana perkataan Musa Alaihissalam kepadanya: Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mu’jizat-mu’jizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa”. (Al-Isra’: 102)

Ia juga menceritakan tentang Fir’aun dan kaumnya: “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombon­gan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya.” (An-Naml: 14)

Begitu pula orang-orang yang mengingkarinya di zaman ini, seperti komunis. Mereka hanya menampakkan keingkaran karena ke-sombongannya. Akan tetapi pada hakikatnya, secara diam-diam batin mereka meyakini bahwa tidak ada satu makhluk pun yang ada tanpa Pencipta, dan tidak ada satu benda pun kecuali ada yang mem­buatnya, dan tidak ada pengaruh apa pun kecuali pasti ada yang mempenga-ruhinya.

Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” (Ath-Thur: 35-36) Baca lebih lanjut

Fiqih Wanita

index1. Adab Seorang Istri Terhadap Suami

“Dunia (hidup di dunia ini) adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan di dunia ini adalah istri yang baik (sholehah).” (Shahih Muslim, Kitab 14, Bab 17, Hadits No. 1467).
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan oleh seorang istri yang sholehah di dalam keluarga, termasuk pergaulannya terhadap suami. Beberapa hal tersebut adalah:
  1. Menjadi seorang istri yang baik adalah sedemikian penting sehingga dari titik pandang Islam, seorang istri yang baik dipandang sebagai sesuatu yang paling baik di dunia.
  2. Peranan perempuan dalam rumah tangga sangat penting. Sesungguhnyalah ia merupakan faktor penentu.
  3. Istri harus melakukan yang terbaik untuk menjaga agar suaminya tetap senang kepadanya.
  4. Istri ideal harus memadukan tiga hal : Ia dapat membahagiakan suaminya bila suami melihatnya, dengan cara merawat diri agar selalu tampil cantik menarik di depan suaminya. Ia harus mentaatinya jika ia menyuruhnya; Ia tidak menentang keinginan suaminya baik menyangkut diri sang istri atau harta bendanya dengan melakukan sesuatu yang dicela olehnya.
  5. Menolak tidur bersama suaminya ketika ia mengajaknya tidur adalah merupakan satu kesalahan besar yang harus dihindarkan.
  6. Ketika sang istri berniat untuk berpuasa sunat, ia boleh melakukannya hanya setelah ada izin dari suaminya. Jika ia tidak memperoleh izin suaminya, maka suami berhak untuk membuatnya membatalkan puasa yang sedang dijalaninya. Alasan untuk ini adalah bahwa mungkin ia berkeinginan untuk melakukan hubungan seksual dengannya, yang tentu ia tidak bisa melakukannya jika sang istri berpuasa atas pemberian izin darinya.
  7. Adalah kewajiban seorang istri untuk tidak mengizinkan seseorang, yang tidak diinginkan suaminya, untuk masuk ke dalam rumah tanpa izin darinya.
  8. Istri tidak boleh memberikan sesuatu yang mungkin hak milik suaminya tanpa perkenannya.
  9. Seorang istri tidak patut meminta dari suaminya uang tambahan atau apa yang ia tidak miliki atau tidak mampu memberikannya, dan ia harus menunjukkan rasa terima kasih atas apapun yang ia berikan.
  10. Seorang istri harus mengakui bantuan apapun yang diberikan suaminya di dalam rumah.
  11. Istri yang baik adalah ia yang taat pada perintah suaminya jika ia memintanya melakukan sesuatu.
  12. Pada saat suami pulang ke rumah, istri harus menyambutnya dengan ramah dan menemuinya dengan penampilan yang baik dan cantik.
  13. Istri harus berusaha untuk tidak mengabaikan kebutuhan-kebutuhan suaminya atau melalaikan tuntutan-tuntutannya. Semakin seorang istri memperhatikan suaminya, maka semakin besar pula cintanya kepadanya. Kebanyakan para suami – secara faktual, memandang perhatian sang istri pada mereka sebagai satu ekspresi dari cintanya.
  14. Seorang istri harus berhati-hati untuk tidak menyampaikan pada suaminya, pada saat ia pulang, tentang persoalan-persoalan keluarga, atau mengadu padanya tentang anak-anak, dan lain-lain. Sebaliknya ia harus berupaya menciptakan suasana damai yang justru dibutuhkan suaminya setelah melewati hari-hari yang panjang dan melelahkan.
  15. Seorang istri sebaiknya mendiskusikan masalah-masalah keluarga dengan suaminya pada saat-saat yang tepat.
  16. Bagi seorang istri yang menghormati kerabat dekat suaminya dan memperlakukan mereka dengan ramah adalah – sesungguhnya – merupakan tanda penghargaan dan hormat bagi suaminya.
  17. Seringkali meninggalkan rumah adalah suatu kebiasaan buruk bagi perempuan. Ia juga tidak boleh meninggalkan rumah jika suaminya keberatan ia berbuat demikian.
  18. Istri tidak boleh bercengkrama dengan laki-laki asing tanpa mengindahkan keberatan suaminya.
  19. Istri harus penuh perhatian terhadap suaminya pada saat ia berbicara.
  20. Seorang istri tidak berhak meminjamkan sesuatu dari harta suaminya yang bertentangan dengan keinginannya. Tetapi ia boleh meminjamkan hak miliknya sendiri.
  21. Menuntut perceraian dari suami tanpa alasan yang kuat adalah dilarang.
  22. Jika seorang teman suami bertanya tentang dia, ia boleh menjawabnya tetapi tanpa harus terlibat dalam percakapan panjang lebar.
  23. Terlalu banyak berargumentasi dan berdebat dengan suami, menghitung-hitung kesalahan suami, sebenarnya hanya akan menumbuhkan kebencian dan memperburuk hubungan.
  24. Memelihara rumah dan menjalankan tugas-tugas rumah tangga adalah menjadi tanggung jawab istri. Oleh karena itu ia harus mengerjakan tugas-tugas merawat rumah, perabot rumah tangga dan lain-lain dan juga harus hemat.
  25. Seorang istri tidak boleh memberi sedekah dari harta suaminya tanpa seizinnya.
  26. Berbicara tentang atau menceritakan pada orang lain mengenai masalah-masalah seksual antara suami dan istri adalah merupakan dosa menurut Islam.
  27. Seorang istri tidak perlu merasa takut untuk menyatakan cinta dan kasih sayangnya terhadap suaminya. Hal itu akan menyenangkan hatinya dan membuatnya lebih dekat pada keluarganya; selain itu jika ia tidak menemukan seorang perempuan yang menarik dan mencintainya di rumah, ia mungkin sekali akan terdorong untuk mencari hiburan dimana saja, di luar rumah.
  28. Kepemimpinan dalam keluarga adalah menjadi hak suami. Bagi perempuan yang menuntut persamaan yang penuh dan sempurna dengan suaminya, akan berakibat pada adanya dua pemimpin dalam keluarga dan ini tidak dikenal dalam Islam. Meskipun begitu suami tidak boleh bertindak dengan cara otokratis dan menyalahgunakan posisinya. Ia harus memperlihatkan cinta dan kasih sayangnya dan memperlakukan istrinya sebagai partner hidup.
Ketaatan Istri Terhadap Suami

Dalil-dalil menunjukkan bahwa seorang istri wajib taat kepada suaminya. Diantaranya firman Allah, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah : 228)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa : 34)
Diriwayatkan dari Abu Dzar, “Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia, melainkan pasangan suaminya dari bidadari di surga akan menyatakan jangan kau sakiti dia, semoga Allah memerangimu (kata celaan), karena dia berada disisimu sebagai pendatang sementara yang hampir saja dia memisahkan diri darimu dan datang kepada kami (bidadari surga)” (HR Tarmidzi dan Ibnu Hibban), dihasankan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Dalam Hadits Bibi Husain, “Aku datang kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam pada sebagian kebutuhan, Rasulullah bertanya apakah engkau mempunyai suami ?, wanita itu menjawab “Iya”. Rasul bertanya, “Bagaimana keadaanmu terhadapnya ?”, “Aku selalu menaatinya dan melayaninya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu melakukannya”, “Maka lihatlah dimana keberadaanmu di sisinya, karena sesungguhnya suamimu adalah surgamu dan nerakamu” (HR An-Nasai, Imam Akhmad). Dinyatakan bersanak jayid oleh Syaikh Al-Albani menukil pernyataan An-Nasai dan Imam Akhmad.
Termasuk hak suami atas sang istri adalah sang istri merawat rumah suaminya, dan tidak keluar dari rumah tanpa seizin suami. Apabila sang suami tidak ada dan terdapat kebutuhan mendesak yang harus segera dilaksanakan, maka sang istri sebelumnya harus menimbang apakah suami akan mengizinkannya atau tidak, apabila kemungkinan sang suami mengizinkannya, maka setelah sang suami kembali, sang istri menyampaikan berita yang menenangkan suami.
Akan tetapi kalau mungkin sang suami tidak mengizinkan, atau sang istri ragu mendapat izin atau tidak maka pada hukum asalnya sang istri tidak boleh keluar. Termasuk pula hak suami atas sang istri adalah sang istri mengerjakan semua perkerjaan rumah sendiri, tidak seharusnya sang istri meminta sang suami untuk mendatangkan pembantu yang bisa membawa akibat buruk bagi suami atau anak-anaknya. Berkata Rasulullah kepada Aisyah bahwa kadar pahalanya sesuai dengan keletihannya (dalam mengurusi pekerjaan rumah).

Baca lebih lanjut